Mpd.umsida.ac.id — Penelitian dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Dyah Farissa dan Budi Haryanto mengulas tantangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di era digital, mulai dari kesiapan guru hingga literasi digital peserta didik.
Baca Juga: Kaprodi S2 MPI Umsida Dampingi Tim PKM Hingga Raih Juara 3 PIMTANAS PTMA 2025
Kajian berbasis studi kepustakaan ini dipublikasikan di Pendas Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar dan menegaskan bahwa digitalisasi membuka peluang pembelajaran lebih fleksibel, namun memunculkan problem baru seperti kesenjangan akses, distraksi, hingga potensi penyalahgunaan internet.
Digitalisasi Mengubah Cara Belajar PAI di Sekolah
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa transformasi digital menggeser paradigma pembelajaran PAI dari pola konvensional—yang cenderung bertumpu pada ceramah dan hafalan—ke pembelajaran yang lebih adaptif, berpusat pada peserta didik, serta memanfaatkan media digital. Dalam konteks pendidikan dasar, perubahan ini punya konsekuensi langsung: materi ajar, cara guru menjelaskan, hingga pola interaksi belajar harus menyesuaikan karakter generasi yang akrab dengan gawai dan konten cepat.
Di satu sisi, pemanfaatan teknologi memberi ruang pembelajaran yang lebih luas. Materi PAI tidak lagi terbatas pada buku paket dan tatap muka, tetapi dapat diperkuat melalui video, audio, animasi, maupun platform pembelajaran daring. Penelitian juga menyoroti bahwa media sosial berpotensi menjadi kanal edukatif, misalnya untuk memperkaya wawasan keislaman atau menjadi ruang kreativitas konten pembelajaran yang lebih dekat dengan keseharian siswa.
Namun peneliti menekankan bahwa kemajuan teknologi tidak otomatis membuat pembelajaran PAI lebih efektif. Tanpa desain pembelajaran yang tepat, teknologi justru dapat berubah menjadi “gangguan” yang menggerus fokus belajar, mengurangi kualitas interaksi, dan melemahkan proses internalisasi nilai.
Tantangan Utama Ada pada Guru Siswa Materi dan Akses
Temuan penelitian memetakan tantangan pembelajaran PAI di era digital dalam beberapa titik krusial.
Pertama, kompetensi guru. Penelitian menilai tidak semua guru siap menghadapi tuntutan keterampilan digital, baik dalam mengoperasikan platform pembelajaran maupun merancang pengalaman belajar yang interaktif. Masalahnya bukan sekadar “bisa memakai aplikasi”, tetapi kemampuan pedagogik digital: memilih media yang relevan, mengelola kelas digital, serta membangun keterlibatan siswa agar pembelajaran tidak kembali menjadi pasif hanya karena berpindah ke layar.
Kedua, kesiapan peserta didik. Studi ini menekankan literasi digital sebagai prasyarat. Rendahnya literasi digital membuat siswa rentan tersesat dalam arus informasi, mudah terdistraksi oleh media sosial dan gim, serta berpotensi terpapar konten yang tidak mendukung pembentukan karakter. Peneliti juga menggarisbawahi tantangan motivasi belajar mandiri: fleksibilitas pembelajaran digital sering berujung pada penundaan tugas, lemahnya disiplin, dan menurunnya minat ketika metode belajar monoton.
Ketiga, tantangan materi pembelajaran. Penelitian menilai materi PAI perlu bergerak ke arah yang lebih kontekstual dan antisipatif, bukan hanya menyampaikan konsep normatif tetapi juga menjawab realitas sosial digital yang dialami siswa—misalnya etika bermedia, hoaks, perundungan siber, hingga tanggung jawab digital. Dalam kerangka pendidikan dasar, pembaruan materi ini penting agar PAI tetap hadir sebagai pembentuk karakter, bukan sekadar mata pelajaran hafalan.
Keempat, infrastruktur dan akses teknologi. Penelitian mencatat bahwa keterbatasan internet dan perangkat masih menjadi penghambat serius, terutama bagi peserta didik di wilayah dengan koneksi tidak stabil atau kondisi ekonomi tertentu. Ketika akses tidak merata, digitalisasi berpotensi memperlebar kesenjangan pembelajaran: siswa yang punya perangkat dan kuota akan melaju, sementara yang tidak akan tertinggal.
Rekomendasi Strategis untuk Memperkuat Pembelajaran PAI
Penelitian Dyah Farissa dan Budi Haryanto menegaskan bahwa kunci mengatasi tantangan bukan pada “menambah teknologi”, melainkan memperkuat ekosistem belajar. Ada beberapa rekomendasi yang dapat ditarik untuk konteks pendidikan dasar dan penguatan kapasitas pendidik.
- Penguatan kompetensi guru secara berkelanjutan. Pelatihan tidak cukup bersifat satu kali, tetapi harus berorientasi praktik: bagaimana merancang materi digital, memanfaatkan video/infografis, mengelola interaksi kelas, dan memastikan tujuan PAI tetap tercapai (nilai, sikap, spiritualitas).
- Peningkatan literasi digital siswa sejak dini. Literasi digital perlu dipahami sebagai keterampilan memilah informasi, memahami etika, dan menggunakan teknologi untuk belajar—bukan sekadar mampu mengoperasikan gawai.
- Model pembelajaran campuran yang realistis. Penelitian menilai blended learning dapat menjadi jalan tengah agar keunggulan tatap muka tetap ada, sementara teknologi memperluas akses dan variasi belajar.
- Kolaborasi sekolah orang tua dan pemangku kebijakan. Pengawasan dan pendampingan penggunaan teknologi dibutuhkan agar perangkat belajar tidak berubah menjadi pintu masuk distraksi dan penyalahgunaan.
Baca Juga:Visiting Lecturer FAI Umsida 2025 Bahas Dakwah Islam Digital di Era Multikultural
Bagi Program Studi MPD Umsida, temuan ini relevan sebagai pijakan penguatan wacana pendidikan dasar: digitalisasi perlu dikelola sebagai strategi pedagogik, bukan sekadar agenda fasilitas. Ketika guru, materi, dan literasi digital siswa dibangun secara seimbang, pembelajaran PAI tetap dapat menjadi ruang pembentukan karakter dan nilai spiritual di tengah perubahan zaman.










