Kolaborasi Dosen Umsida dan UniSZA Kaji Kebijakan Rekrutmen Guru di Indonesia dan Malaysia

Mpd.umsida.ac.id – Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) kembali menorehkan kontribusi akademik di kancah internasional melalui publikasi riset bertajuk “Analysis of State-Funded Teacher Recruitment Policies: Perspectives from Indonesia and Malaysia.” Artikel ini terbit di International Journal of Multidisciplinary (IJMI) Volume 2 Nomor 4, November 2025.

Penelitian lintas negara ini ditulis oleh Yopi Agusta Fanaturiza, Imam Fauji, Eni Fariyatul Fahyuni, dan Moh Saifudin dari Umsida, berkolaborasi dengan Zuraidah Juliana Mohamad Yusoff dan Nabila Sahira dari Sultan Zainal Abidin University (UniSZA), Malaysia. Kajian ini membandingkan kebijakan rekrutmen guru yang digaji negara di Indonesia dan Malaysia dengan fokus pada regulasi, proses seleksi, distribusi penempatan, serta sistem pelatihan pra-jabatan.

Analisis Komparatif Indonesia dan Malaysia

Dalam hasil penelitiannya, tim dosen Umsida menemukan bahwa Indonesia menerapkan sistem rekrutmen desentralisasi melalui mekanisme CPNS dan PPPK. Kebijakan ini berlandaskan pada prinsip meritokrasi dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik di berbagai daerah. Namun, persoalan klasik seperti ketimpangan distribusi guru dan lemahnya sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah masih menjadi tantangan utama.

Sementara itu, Malaysia menggunakan pendekatan rekrutmen yang terpusat dan terintegrasi di bawah lembaga Suruhanjaya Perkhidmatan Pendidikan (SPP). Melalui sistem ini, calon guru diseleksi secara ketat berdasarkan kualifikasi akademik dan menjalani pendidikan pra-jabatan di Institut Pendidikan Guru (IPG). Pendekatan ini menjadikan sistem rekrutmen Malaysia lebih terstruktur, seragam, dan berorientasi jangka panjang.

“Perbandingan ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu memperkuat koordinasi antar level pemerintahan agar kebijakan rekrutmen guru dapat lebih merata dan efektif,” tulis tim peneliti dalam artikel tersebut. Selain itu, Malaysia dinilai berhasil menjaga konsistensi kualitas guru karena integrasi antara pendidikan calon guru dan sistem rekrutmen dijalankan secara berkesinambungan.

Tantangan dan Peluang Reformasi di Indonesia

Riset ini juga menyoroti problematika besar yang dihadapi Indonesia, yaitu kekurangan guru nasional yang pada 2024 diproyeksikan mencapai lebih dari 1,3 juta orang. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah meluncurkan program rekrutmen besar-besaran PPPK bagi guru honorer. Meski kebijakan tersebut berhasil meningkatkan kesejahteraan dan jumlah guru bersertifikat, pelaksanaannya masih terkendala oleh minimnya pembukaan formasi di daerah.

“Banyak daerah yang enggan membuka formasi PPPK meski terjadi kekurangan guru. Ini menunjukkan perlunya koordinasi dan mekanisme evaluasi yang lebih kuat antara pusat dan daerah,” jelas hasil penelitian tersebut.

Sebagai solusi, peneliti merekomendasikan agar Indonesia mengadopsi model perencanaan berbasis data seperti di Malaysia. Pemerintah dapat menetapkan proyeksi kebutuhan guru lima tahunan dan menyesuaikannya dengan data pensiun serta pertumbuhan jumlah siswa. Selain itu, sistem rekrutmen berbasis wilayah juga perlu diterapkan agar daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) memperoleh prioritas penempatan guru.

Tidak hanya itu, tim peneliti juga menekankan pentingnya memperluas jalur rekrutmen bagi lulusan non-kependidikan dengan skema kontrak menengah dan pelatihan Fast Track PPG. Model ini dinilai efektif untuk memperluas basis calon guru tanpa menurunkan standar kompetensi. “Rekrutmen harus fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan tenaga pendidik di era modern, tetapi tetap menjaga kualitas dan profesionalisme guru,” tulis para dosen Umsida.

Rekomendasi Strategis dan Implikasi Kebijakan

Dalam kesimpulan risetnya, para peneliti menyarankan lima langkah strategis bagi Indonesia. Pertama, memperkuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam perencanaan kuota guru. Kedua, menerapkan sistem formasi berbasis wilayah agar penempatan guru lebih merata. Ketiga, mengembangkan model kontrak fleksibel bagi lulusan non-pendidikan. Keempat, memperluas kapasitas dan akses Pendidikan Profesi Guru (PPG). Dan kelima, membangun sistem evaluasi dan umpan balik (feedback mechanism) untuk memantau efektivitas kebijakan rekrutmen guru.

Menurut tim penulis, kebijakan rekrutmen guru harus lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan administratif. “Guru adalah ujung tombak pendidikan nasional. Rekrutmen mereka harus mencerminkan visi negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,” tegas Yopi Agusta Fanaturiza dalam keterangan tertulisnya.

Artikel ini memberikan kontribusi penting terhadap diskursus kebijakan pendidikan di Asia Tenggara. Melalui pendekatan komparatif, riset ini tidak hanya menggambarkan perbedaan struktur kebijakan antara dua negara, tetapi juga membuka peluang pembelajaran lintas sistem untuk meningkatkan profesionalisme dan pemerataan tenaga pendidik di Indonesia.